Jumat, 14 November 2014

Menjadi Duta Besar


Penjagaan cukup ketat, bagi yang tinggal di rumah mewah seperti ini pastinya akan bahagia. Cukup jauh dari realita ibukota  sebenarnya. Namun memasuki rumah kedutaan besar negara adidaya merupakan sebuah salah satu pengalaman yang jarang. Dalam sebuah tugas liputan merupakan salah satu cara mendapatkan akses untuk masuk rumah besar ini.

Beberapa aparat keamanan mengamati satu persatu foto dan nama daftar undangan, termasuk wartawan yang akan meliput. Berhasil masuk dengan tersisa geledahan tasku yang diobrak-abrik. Sambil terasa kikuk, penjaga mengantar masuk ke dalam rumah.
Dalam suasana asing tersebut, para ekspatriat dan pejabat bercengkrama membicarakan sesuatu yang serius. Diselingi ketawa-ketiwi sembil menenggak wine.

Aku ambil satu gelas, menenggak kegirangan karena jarang minum mahal seperti ini. Rasanya sepet. Acara dimulai dengan kata pembuka sang duta besar yang tidak sepenuhnya aku pahami. Nanti aku lihat di siaran pers saja untuk bahan tulisan.
Acara berlanjut lagi dengan makan malam, diantaranya ada yang berdansa-dansi dengan iringan piano yang bersuara nyaring di tengah ruang yang agaknya kerap dipakai keluarga duta besar ini menghabiskan waktu. Ada tumpukan buku, penerangan yang artistik. Andai kelak nanti punya ruangan seperti ini.

Semua sibuk, aku meninggalkan kerumunan untuk mencari toilet. Sambil bertanya pelayan rumah, petunjuknya yang terlalu menegaskan besarnya rumah ini. Entah mungkin kesasar, aku sudah jauh dari orang-orang. Aku masuk sebuah kamar, ah kamar sang duta besar. Entah apa yang membawa aku untuk berbaring di ranjang empuk besar ini. Setelah aku kunci kamarnya, aku melepaskan semua pakaian, laiknya pemilik kamar ini.

Sambil memandang langit yang beratap lukisan gaya renaissance, mata kian berat apalagi sudah meliput sejak pagi tak sempat untuk istirahat.

Sinar matahari mulai muncul dari bilik jendela. Ya ampun, sudah pagi. Sebelahku istri duta besar! Kepanikan ini semakin menyeramkan saat aku keluar dari kamar mereka menyambutku dengan bahasa asing. Aku dipersilahkan untuk sarapan, di meja makan sudah tersedia berbagai makanan ala barat.

Aku tahu ini tidak nyata, tetapi cermin yang ada di depanku meyakinkan bahwa aku adalah sang duta besar. Kemana aku? Aku ingin berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa, tetapi aku tidak lancar berbahasa asing.

Beberapa hari kemudian aku dibawa ke psikiater, aku dianggap ada gangguan mental. Sebab aku lancar berbahasa Indonesia. Mereka menganggap itu hal yang tak wajar.

Garna Raditya