Penjagaan cukup ketat, bagi yang tinggal di rumah
mewah seperti ini pastinya akan bahagia. Cukup jauh dari realita ibukota sebenarnya. Namun memasuki rumah kedutaan besar
negara adidaya merupakan sebuah salah satu pengalaman yang jarang.
Dalam sebuah tugas liputan merupakan salah satu cara mendapatkan akses untuk
masuk rumah besar ini.
Beberapa aparat keamanan mengamati satu persatu foto
dan nama daftar undangan, termasuk wartawan yang akan meliput. Berhasil masuk
dengan tersisa geledahan tasku yang diobrak-abrik. Sambil terasa kikuk, penjaga
mengantar masuk ke dalam rumah.
Dalam suasana asing tersebut, para ekspatriat dan
pejabat bercengkrama membicarakan sesuatu yang serius. Diselingi ketawa-ketiwi sembil
menenggak wine.
Aku ambil satu gelas, menenggak kegirangan karena
jarang minum mahal seperti ini. Rasanya sepet. Acara dimulai dengan kata
pembuka sang duta besar yang tidak sepenuhnya aku pahami. Nanti aku lihat di
siaran pers saja untuk bahan tulisan.
Acara berlanjut lagi dengan makan malam, diantaranya
ada yang berdansa-dansi dengan iringan piano yang bersuara nyaring di tengah
ruang yang agaknya kerap dipakai keluarga duta besar ini menghabiskan waktu.
Ada tumpukan buku, penerangan yang artistik. Andai kelak nanti punya ruangan
seperti ini.
Semua sibuk, aku meninggalkan kerumunan untuk
mencari toilet. Sambil bertanya pelayan rumah, petunjuknya yang terlalu
menegaskan besarnya rumah ini. Entah mungkin kesasar, aku sudah jauh dari
orang-orang. Aku masuk sebuah kamar, ah kamar sang duta besar. Entah apa yang
membawa aku untuk berbaring di ranjang empuk besar ini. Setelah aku kunci
kamarnya, aku melepaskan semua pakaian, laiknya pemilik kamar ini.
Sambil memandang langit yang beratap lukisan gaya renaissance, mata kian berat apalagi sudah meliput sejak pagi tak sempat untuk
istirahat.
Sinar matahari mulai muncul dari bilik jendela. Ya
ampun, sudah pagi. Sebelahku istri duta besar! Kepanikan ini semakin
menyeramkan saat aku keluar dari kamar mereka menyambutku dengan bahasa asing.
Aku dipersilahkan untuk sarapan, di meja makan sudah tersedia berbagai makanan
ala barat.
Aku tahu ini tidak nyata, tetapi cermin yang ada di
depanku meyakinkan bahwa aku adalah sang duta besar. Kemana aku? Aku ingin berpura-pura seperti tidak terjadi
apa-apa, tetapi aku tidak lancar berbahasa asing.
Beberapa hari kemudian aku dibawa ke psikiater, aku
dianggap ada gangguan mental. Sebab aku lancar berbahasa Indonesia. Mereka
menganggap itu hal yang tak wajar.
Garna Raditya