Kamis, 21 November 2013

Suara Pemotong kuku

Pada hari dan jam tertentu, suara itu terdengar dari luar. Berbunyi dengan irama yang tak tentu, seperti pemotong kuku. Tetapi suara itu kian mengusik, berulang-ulang sepertinya kuku yang dipotong begitu panjang, milik siapa itu?

Belakangan, suara sayup-sayup itu berasal dari atap rumah. Memeriksa pun terlampau merepotkan. Tiap malam selalu diliputi rasa penasaran.


Iseng, siang hari menaiki loteng. Ia mendapati potongan kuku, tercecer dimana-mana. Bentuknya berbeda dengan kuku manusia, warnanya buram, bersisik.


Sosok besar, mata merah berbulu hitam dihadapannya. Masih memotong kukunya yang panjangnya sekitar satu meter.


"Hei jelek! Bersihkan engga? Aku potong sekalian lho bulumu."


Seketika, dengan gontai mahkluk itu membersihkan potongan kukunya sambil diawasi. Menunduk dan menghilang, tak berani melihat mata perempuan itu.


Selasa, 17 September 2013

Anak Pohon

Setelah sekian lama, temannya diajak ke apartemen mewah, tempat ia tinggal yang dikelilingi lahan hijau. Sebuah tempat di pinggiran Ibukota yang mulai banyak dibangun gedung-gedung serupa. Bagi dirinya yang tak pernah merasakan serba mewah membuatnya kagum.

"Yuk, renang," kata Alfo mengajak sahabat karibnya, Bian, yang berasal dari keluarga pas-pasan itu menyambut riang. Apalagi dirinya jarang bisa renang.

Dikeriangan saat bermain itu, Bian seperti menyimpan sesuatu yang membuat Alfo bertanya-tanya dengan wajah gusarnya. Ia keluar dari air dengan tergesa-gesa.

"Kamu tahu, dulu dibawah bangunan ini apa?"

"Kuburan? Haha..kamu menakutiku." Jawab Alfo dengan santai.

"Bukan, tetapi keluarga pepohonan."

"Lalu kenapa?"

"Aku anak dari mereka."

Teman Tidur

Bangun selalu tepat pada terik matahari yang sedang menguning. Badan kepanasan dengan kipas angin yang terus menyala merupakan salah satu alasannya terbangun.

Belum minum air putih sejak haus sepanjang tidur, rokok justru menempel di bibirnya yang menghitam. Wajahnya, pengap, tak ubahnya seperti ruangan kosnya yang hanya cukup dengan lemari dan kasur tanpa ranjang.

"Ah, telat kuliah lagi. Kalau begini terus tak lulus-lulus."

Kebiasaannya saat malam begadang tanpa melakukan apa-apa mengancam siklus hidupnya. Ia lantas berpikir apa yang bisa dilakukan supaya segera mengantuk?

Ia membeli cermin panjang, diletakkan horisontal di dinding sebelah kasur. Sejak saat itu ia sering bangun pagi sambil mengucapkan salam dan tersenyum memandangi sebelahnya. Kini ia memiliki teman tidur yang membangunkan dirinya tiap pagi.

Kamis, 20 Juni 2013

Salah Kode Morse

Suara pintu berderit berkali-kali. Kamar sebenarnya terang tapi selimut yang telah menutupi seluruh tubuhku ini tetap menahan untuk tidak mengintip.

Apa barangkali adik yang sedang iseng, atau mungkin ada angin kencang. Seluruh pertanyaan bercampur rasa takut menggenapi keinginan untuk kencing yang sudah ditahan bermenit-menit. Padahal ini kamarku sendiri kenapa aku harus takut, lagipula masih ada orang lain di rumah ini.

Tetapi derit itu terus berbunyi, konsisten dengan jeda dan waktu henti secara berkala. Aku tetap tidak berani beranjak. Sementara keringat terus menetes dari keningku menguap, sebab seluruh badan semakin panas. Sedikit udara untuk menghirup.

Sejak kedatangan pesawat misterius itu, aku bersedia menunggu mereka untuk menjemput. Padahal barang bawaanku sudah aku siapkan. Namun keinginanku pergi dari bumi ini telah sirna, aku tidak tahu kalau itu adalah kode morse dari mereka melalui suara derit pintu itu. Aku menyesal, kenapa dulu tidak pernah pergi ekstrakurikuler pramuka.

@GarnaRaditya

Benci Cerita Cinta

Seakan semua orang kesepian, hanya mengasihani diri. Terutama disaat hujan, meratapi tentang dirinya yang  harinya tidak pernah bahagia. Kalau sudah melankolia, cinta dan rindu hanyalah tema yang ada.

Barangkali para penyair itu memang orang kesepian. Menjual tentang cerita cinta yang diulang-ulang, pembacanya tentu saja yang sedang patah hati atau yang sedang sedih dengan sesuatu.

Jolan menggerutu sendiri tiap malam, seperti ada yang mampat dalam angannya.

Suatu ketika, ia merasa sedang diperhatikan. Jolan seolah tidak peduli, bahkan balasan senyuman maupun tatapan mata itu tidak dihiraukan. Ia sengaja, masih muak dengan perasaan emosional yang serupa. Maklum, trauma dengan masa lalunya ditinggal tanpa pesan cukup membuatnya naik berat badannya.

Di tempat yang sama, hingga kali ini sudah belasan kali menjumpainya lagi. Sorotan matanya yang tajam kian membuat terasa seram. Kesal, ia hampiri dengan geram.

"Kamu...hei! Kamu siapa...Jangan membuntuti saya terus ya!"

Pohon didepannya itu tak menjawab apa-apa

@GarnaRaditya

Kamis, 24 Januari 2013

Akibat Menebang Pohon

Karina tinggal di rumah yang sangat sejuk bersama ayah ibu. Namun belakangan ini, rumahnya terasa aneh. Sering ia mendengar suara riuh ketika terlelap dalam pelukan ibunya.

“Suara apa itu, Bu?” tanya Karina kecil.

“Kita harus waspada sayang, ada pendatang baru dan mereka mulai menghantui,” kata ibunya seraya berbisik. Karina kecil meringkuk ketakutan. Ia kini menyadari kenapa boneka ranting kesayangannya sering berpindah dengan sendirinya. Mereka, makluk asing itu yang memindahkan.

 “Jangan takut, ayah dan ibu akan selalu bersamamu, sayang.”
Gadis manis yang gemar bergaun putih itu merengek hari berikutnya.

“Kenapa, sayang?” Tanya Ibu. “Ibu, rumah kita panas sekali.” Ayah dan Ibu kini mulai geram. Mereka memutuskan untuk berpindah rumah, Karina tidak bisa dibiarkan kepanasan sepanjang hari.
Pagi itu, penghuni rumah di sebelah rumah Karina mengepak semua barang, meskipun ini baru minggu pertama tinggal disana.

Mereka ketakutan setengah mati. Penghuni pohon depan rumah semalam menghantui karena pohon mereka tebang tanpa satu daunpun tersisa. Saat mereka menjejakkan kaki keluar dari pintu rumah, Karina kecil dengan gaun putihnya melambaikan tangan kemudian ia bersiap untuk tidur karena matahari diluar mulai terik.



Devi Hermasari

Senin, 07 Januari 2013

Sendiri di Bumi

Untuk mengawali cerita perdana di tahun 2013 ini, saya akan sematkan satu judul dalam format cerpen. Sebagai penghela nafas untuk mereguk suasana baru. Anggap saja sebagai bonus. Cerbung horor ini akan tetap bergulir ditengah fiksi kilat yang akan terus berjalan. Selamat menikmati!

***

Dia sendirian di belantara hijau. Udara yang terhirup masih sejuk, belum ada polusi yang menyengat hidungnya saat bangun pagi.

Kadang Sunaf di ujung jurang, tiba-tiba sudah berenang di lautan sambil menyapa karang. Cari makan sekalian. Hidupnya terpenuhi dari kebebasan yang ia miliki.

Sunaf tidak pernah merasa sendiri, karena angin adalah teman akrabnya, bicara dari desiran. Apalagi hujan, serasa mendengarkan orkestra ketika butuh ketenangan.

Tak jauh dari pohon yang ia rebahi, pasangan yang konon disebut Adam dan Hawa itu hidup di sebuah taman yang disebut Eden. Mereka tidak terpisahkan, serasa dunia milik berdua.

Yang tiap kali Sunaf membuat menelan ludah, mereka berdua telanjang. Apalagi saat hawa sedang tiduran di bawah pohon, dia amati lekuk tubuhnya yang sintal. Amboi, Sunaf pikirannya memang nakal.

Sementara disaat Adam tengah sibuk berburu buah, dia berusaha mendekat pada Hawa beberapa jengkal berselimut belukar, memastikan bisa memandang keelokan matanya yang tertutup.

Bisa sampai berjam-jam. Kadang birahinya muncul, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Seperti gunung yang mau meletus, instingnya hanya seperti kepulan asap tebal ala bulu domba yang kusam. Tak kunjung meletup.

Hawa rambutnya panjang, sampai menutup pantatnya yang hampir kemerah-merahan. "Duh seperti apel, rasanya ingin aku gigit lemas, separuh saja boleh lah."

Hingga atap perutnya yang seperti gelembung air, ingin ia renangi sampai pada pulau yang tertuju. Begitu liar Sunaf membayangkan keelokan Hawa.

"Ah, apa-apaan aku ini."

Masih saja dia bingung sampai hanya melamun habiskan harinya. Tubuh dimatanya, bak embun yang hanya ia jumpai di daun. Menetes ke tanah, menyegarkan tanaman. Siap untuk berbuah. Tapi apa daya, keresahannya itu kian menyiksa. Tiap harinya hanya mengintip, duduk terlentang tanpa melakukan apa-apa.  

Batu yang biasa dipakai untuk mengkuliti makanannya, diasah hingga tajam. Bahkan debu yang hinggap, terbelah sampai tak terlihat. Seraya berkomat-kamit untuk batu, dia merencanakan sesuatu.

Di semak kembali merumput menjadi bagian tubuhnya hijau, liar, otot tangannya tampak seperti ranting. Binatang, akan terkelabuhi penyamarannya. Dia ahli dalam hal ini, terutama saat memenuhi makan daging.

Dari depan matanya, Sunaf yang terlentang seperti bangkai pohon dibelakangi Adam yang sedang memetik buah-buahan. Tentu, bukan apel terlarang itu. Kadang sempat jengkel untuk mengingatkan berkali-kali kepada Hawa untuk tidak menyentuhnya. Ular yang kerap mengajak pasangannya bercengkrama membuatnya cemburu. Tapi Adam yang seorang pemalu, hanya bisa mengusir ular, tak berani membunuh. Siapa yang berani dengan iblis? Mungkin, takut racun bisa-nya.

"Ah, pas sekali. Mungkin Hawa butuh seorang yang baru. Lagipula, mereka tidak banyak bicara. Ah, mungkin aku bisa membahagiakannnya. Mereka datar sekali hidupnya. Semua serba ada. Sesekali perlulah ada air mata."

"Jreb.." Darah mengucur dari punggung adam. Belum cukup, sunaf menarik sebelum melepas batu tajam itu hingga mengoyak tulang. "Krak..."

Adam gontai, sampai jatuh tak sadarkan diri. Sekali dayung, dua pulau terlampaui. "Ah, aku makan saja daripada mubazir. Sepertinya dagingnya enak. Lumayan untuk buruan hari ini. Makan malam besar."

Bulan benderang, burung kian memeluk sarang sambil melindungi anak-anaknya yang baru saja menetas. Sementara auman raja hutan meninggalkan kekuasaannya sampai pagi menjelang, mendekap goa singgasananya yang tak ada yang berani memasuki. Sunaf sekalipun, putera hutan yang seorang diri.

Hanya hawa yang masih gelisah, malamnya tak disambut mimpi, lantaran sibuk mencari Adam yang hilang sejak siang tadi. Sejak saat itu, awan punya teman. Air mata Hawa menetes ke tanah, berbaur dengan ranjang jerami di kediamannya yang tak lagi hangat. Dingin, sendiri.

(Bersambung)