Rabu, 14 September 2011

Mati di Timeline


Di kesehariannya, apapun yang dilakukannya di postingkan ke twitter. Ia bahkan rela untuk menunda makannya sebelum mengetik "Lagi makan nih." Serupa dengan aktivitasnya yang lain. Baginya, orang lain harus tahu apa yang dilakukannya, seakan semua orang sedang memperhatikan.

Timeline yang tertera di sosial media akun miliknya begitu ramai dengan twit remeh-temeh yang serupa. Malam itu hujan hingga membuat listrik di rumahnya padam. Kesal dengan keadaan itu, ia pun menghabiskan waktunya kembali di twitter. "Aduhhh, listrik matiii, gara-gara hujan. Bosan!" Begitu bunyi twitnya.

Batere ponsel, pikirnya, beruntung masih penuh sehingga tak merasa khawatir sampai ia bisa terlelap. Menit berlalu, sambil ia sibuk membalas mention dan retweet, ia klik refresh. Timelinenya berhenti. Hingga sampai direstart tetap juga tampilannya sama, padahal sinyal ponselnya baik-baik saja. Saat ia cek, followernya yang semula ribuan orang, sekarang tinggal 0.

Cling! Suara pertanda mention berbunyi. Dari sebuah akun bernama dirinya, tertulis "23 April 1986-14 September 2011."

Garna Raditja

Pandangan Cicak


Cicak itu selalu ada di atap kamar mandi. Dengan matanya yang tajam, tak ada yang mengetahui kemana arah bola matanya tertuju. Terkadang ia risih saat mandi karena seakan diperhatikan cicak berwarna putih kusam itu. Bahkan saat sedang buang air kecil maupun besar ia tak merasa tenang. 


Beberapa hari cicak itu tak terlihat. Mungkin sudah berpindah di dinding atau atap lain. Ia pun mandi dengan leluasa bahkan sengaja berlama-lama. Taburan busa sabun itu hampir menutup tubuhnya saat dibilas. Ia merasa geli saat menyentuh bagian tubuhnya. Cicak itu menyatu dengan kulitnya ditengah dada dengan kedua mata hitam yang melotot.



Garna Raditja

Minggu, 11 September 2011

Buku Harian yang Tamat


Ia senang sekali menuliskan apa yang terjadi disetiap harinya. Hal remeh-temeh hingga momentum membahagiakan dan menyedihkan ia tuliskan dalam buku harian yang telah menumpuk untuk mengenang hidupnya.

Hingga umurnya mendekati usia 79, ia masih menulis buku hariannya meski sudah tidak ada aktivitas yang berarti lantaran sudah semakin renta untuk melakukan sesuatu. Sebenarnya ia sudah lelah hidup, dan tidak ingin membebani anak-anaknya. Bahkan ia memaksa untuk tinggal di panti jompo meski anaknya sudah melarang.

Para sebayanya satu persatu meninggal. Di dalam hati, ia bertanya kapan bisa menyusul. Hal itu ia tuliskan juga di buku hariannya, karena hanya itu yang bisa dilakukan.

Sore itu hujan, jenazahnya akan dikebumikan.

Salah satu anaknya menemukan buku hariannya yang terakhir. Di sebuah halaman akhirnya, tertulis "Untuk menulis aku pun sudah lelah, sekarang saatnya aku menuliskan bahwa buku harian ini telah tamat." Seketika itu ia meninggal.

Ditelan Internet


Berselancar di internet adalah hobinya, namun ia tak ingin terus-terusan menghabiskan uang untuk menggunakannya di warnet. Ia kemudian membeli modem bekas melalui belanja online dari orang yang tak dikenal. Harganya cukup murah, hanya Rp 50 ribu.

Mencoba kali pertama, modem itu masih bekerja dengan baik. Bahkan koneksinya terbilang cepat. Ia gunakan kesempatan itu untuk browsing berbagai hal. Sejak saat itu ia jarang keluar rumah dan tidak bersosialisasi dengan orang lain kecuali dengan orang tuanya, itu pun hanya saat beranjak ke ruang makan dan tak saling menyapa.

Seminggu berlalu, ia merasa suntuk dan memutuskan pergi keluar saat malam untuk mencari suasana lain. Tak ada orang lain yang ia jumpai. Jalanan sepi, padahal baru pukul 19.00, bahkan di tempat yang biasa ramai juga tak ada orang sekalipun. Merasa ketakutan ia pun kembali ke rumah.

Tak disengaja ia mendapati ibunya memandangi foto dirinya yang merasa kangen, karena telah hilang selama sepekan dan tak ditemukan oleh keluarganya. Tetapi, di internet ia selalu ada, teman-temannya masih menyapa seperti biasa di sosial media.

Garna Raditja

Mayhem! (Jangan Beritahu Siapapun!)



Aku mengenal Jan sudah lama, dia adalah seorang gadis muda yang riang di kelasku. Kami sering bercanda, tak jarang canda kami melampaui batas, yang kutahu dari Jan bahwa hal itu telah membuat cemburu
“..aahh, siapa namanya aku sudah lupa”.
Dia adalah pacar Jan, dan aku benci itu, meskipun perasaan tidak suka itu hanya bisa aku pendam.

Suatu hari diruangan kelas, aku kembali bercanda dengan Jan, kali ini candaan kami sangat melampaui batas, kami tidak pernah melakukan ini sebelumnya.
Jan memegang erat tanganku, kemudian menancapkan dalam-dalam kuku di jari-jari tangannya, mencakar-cakar tangan dan tubuhku, aku berteriak ketakutan dan kesakitan, meminta pertolongan pada seisi kelas.
Tetapi seisi kelas hanya diam memandangi saja, aku baru menyadari ternyata aku tak mengenal satupun isi kelas, aku selama dua tahun dikelas ini hanya sibuk dgn Jan tanpa ada waktu sedikitpun untuk mengenal teman-temanku yang ada di kelas.

Aku masih meronta ronta mencoba membebaskan diri dari genggaman dan cakaran-cakaran Jan yang menyakitkan, darahku berleleran dari kuku-kuku jarinya.
Tiba-tiba aku teringat, aku masih menyimpan beberapa butir obat penenang di celanaku.
Kumasukkan paksa beberapa butir tersebut sekaligus ke mulut Jan. Ia hanya sempat mendengus, reaksi obat bekerja, ia mulai oleng dan melepaskan genggaman tangannya.

Pada saat yg bersamaan, entah dari mana datangnya, tiba-tiba salah satu gadis di kelas ini memukul kepala Jan dengan balok kayu, Jan limbung dan ambruk dengan kepala yang berdarah.
Entah kenapa aku senang dan puas.
Aku ingin mengucapkan terima kasih, akan tetapi pandangan mata seisi kelas tiba2 berubah membenciku, mereka menatap sinis, menuduhku telah memukul Jan.

Seisi kelas menudingkan tangannya ke arahku. Aku tak mungkin melakukannya. Aku tak mungkin setega itu terhadap Jan. Pandangan-pandangan mata itu menyalahkanku.

Tiba-tiba gadis yang tadi sudah berada di depanku, menunjuk ke tempat Jan roboh.
Tampak disana Jan mencoba bangkit, memuntahkan obat-obatan yang tadi kupaksa masuk ke mulutnya. Aku benar-benar merasa bersalah dan ketakutan kalau Jan sampai bangun. Dia pasti juga akan menuduhku seperti yang lain.

Aku berlari keluar ruangan kelas. Keadaan di luar semakin membingungkan, aku melihat banyak anak-anak kecil dengan pakaian-pakaian aneh berlari-larian. Salah satunya sibuk membawa dan membagikan jaring-jaring besar untuk menangkap kupu-kupu.

Perasaan bersalah membuatku mengintip ruangan kelas, mencari tahu keadaan Jan.
Kulihat dia masih tergolek dibawah meja, tak seorangpun menghiraukan.
Dan ketika pandangan mataku beralih ke arah kantin disamping kelas, kulihat kekasihku Ran masih duduk menungguku disana.Wajah dan postur tubuhnya sekilas mirip Jan, aku baru menyadari itu.

Teringat Jan yang mengamuk barusan, tiba-tiba aku disadarkan, ini adalah mayhem!
Kamu tidak bisa mengukur dan melihat kelemahan seseorang!

Kamu tidak tahu apa yg sesungguhnya terjadi!

Lalu aku berlari untuk menyelamatkan Ran kekasihku, aku berlari menuju ruangan kantin, yang secara tiba-tiba pula atau aku tidak pernah memperhatikan sebelumnya, ternyata pintunya sangat banyak.
Ku buka satu persatu, aku harus bisa menyelamatkan Ran tepat waktu sebelum Jan menemukannya.

Akhirnya kutemukan ruangan tempat tadi Ran kekasihku menunggu, tak lagi kudapati dia disana.
Hanya ada bekas muncratan darah di pintu yang menghubungkan kantin ini dengan ruangan kelas.
Kuperhatikan muncratan darah ini lebih seksama.

Bukan muncratan darah! lebih mirip getah bening… berceceran di daun pintu. aku bingung.. konspirasi macam apalagi ini? tiba-tiba suara dalam otakku bersorak menemukan jawaban…

Ah, ini adalah mayhem!
Ini adalah mayhem!
Tak seorangpun boleh tahu ketakutanku saat ini.

Jangan beritahu siapapun!
Jangan beritahu siapapun!


Tokoh Antagonist

Sabtu, 10 September 2011

Makhluk yang Kesepian

Sudah beberapa minggu ini, Tarja berdiam diri di kamarnya. Lantaran mengalami patah hati yang membuat dirinya tidak produktif dalam sehari-harinya dan berpikir untuk mengakhiri hidup.

Malam itu ia masih di kamarnya. Menengok jendela, menarik dirinya ke balkon sambil melihat langit. Ia berandai-andai jika bisa pergi sejauh mungkin untuk melupakan masa lalunya.

Sebuah suara mendengung, makhluk itu mengetuk jendela kamarnya. Sontak, membuat ia kaget dan ketakutan seraya teriak bertanya kepada sosok itu.

"Tenang, aku tidak menyakitimu. Maaf jika membuatmu takut. Aku hanya ingin mengobrol saja," ujar makhluk tinggi kurus itu. Tarja sendiri sedari tadi juga membutuhkan teman untuk berkeluh kesah, tapi ia semakin bingung.

Melalui pintu kamar dari balkon, makhluk itu mendekatinya. Sedangkan Tarja masih ketakutan, sambil pelan-pelan berusaha untuk menerima kedatangan makhluk itu. "Aku masih belum mengerti kenapa aku ditinggal tanpa pesan olehnya. Aku bingung entah kemana untuk melupakan perasaan ini. Aku sendiri tidak tahu aku ini dimana," keluh mahkluk itu.

Tarja mulanya kebingungan, ia pikir, makhluk ini tersesat dan mengalami hal yang sama. Beberapa menit kemudian, mereka saling bercerita mencurahkan hatinya masing-masing hingga berjam-jam hingga obrolan mereka semakin larut dari hati ke hati.

"Boleh aku ikut kamu?"

"Ya, mari kita pergi dan menyesatkan diri"

Piring terbang itu melaju kencang, meninggalkan bumi. Keinginan Tarja terpenuhi.

Garna Raditja