Senin, 07 Januari 2013

Sendiri di Bumi

Untuk mengawali cerita perdana di tahun 2013 ini, saya akan sematkan satu judul dalam format cerpen. Sebagai penghela nafas untuk mereguk suasana baru. Anggap saja sebagai bonus. Cerbung horor ini akan tetap bergulir ditengah fiksi kilat yang akan terus berjalan. Selamat menikmati!

***

Dia sendirian di belantara hijau. Udara yang terhirup masih sejuk, belum ada polusi yang menyengat hidungnya saat bangun pagi.

Kadang Sunaf di ujung jurang, tiba-tiba sudah berenang di lautan sambil menyapa karang. Cari makan sekalian. Hidupnya terpenuhi dari kebebasan yang ia miliki.

Sunaf tidak pernah merasa sendiri, karena angin adalah teman akrabnya, bicara dari desiran. Apalagi hujan, serasa mendengarkan orkestra ketika butuh ketenangan.

Tak jauh dari pohon yang ia rebahi, pasangan yang konon disebut Adam dan Hawa itu hidup di sebuah taman yang disebut Eden. Mereka tidak terpisahkan, serasa dunia milik berdua.

Yang tiap kali Sunaf membuat menelan ludah, mereka berdua telanjang. Apalagi saat hawa sedang tiduran di bawah pohon, dia amati lekuk tubuhnya yang sintal. Amboi, Sunaf pikirannya memang nakal.

Sementara disaat Adam tengah sibuk berburu buah, dia berusaha mendekat pada Hawa beberapa jengkal berselimut belukar, memastikan bisa memandang keelokan matanya yang tertutup.

Bisa sampai berjam-jam. Kadang birahinya muncul, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Seperti gunung yang mau meletus, instingnya hanya seperti kepulan asap tebal ala bulu domba yang kusam. Tak kunjung meletup.

Hawa rambutnya panjang, sampai menutup pantatnya yang hampir kemerah-merahan. "Duh seperti apel, rasanya ingin aku gigit lemas, separuh saja boleh lah."

Hingga atap perutnya yang seperti gelembung air, ingin ia renangi sampai pada pulau yang tertuju. Begitu liar Sunaf membayangkan keelokan Hawa.

"Ah, apa-apaan aku ini."

Masih saja dia bingung sampai hanya melamun habiskan harinya. Tubuh dimatanya, bak embun yang hanya ia jumpai di daun. Menetes ke tanah, menyegarkan tanaman. Siap untuk berbuah. Tapi apa daya, keresahannya itu kian menyiksa. Tiap harinya hanya mengintip, duduk terlentang tanpa melakukan apa-apa.  

Batu yang biasa dipakai untuk mengkuliti makanannya, diasah hingga tajam. Bahkan debu yang hinggap, terbelah sampai tak terlihat. Seraya berkomat-kamit untuk batu, dia merencanakan sesuatu.

Di semak kembali merumput menjadi bagian tubuhnya hijau, liar, otot tangannya tampak seperti ranting. Binatang, akan terkelabuhi penyamarannya. Dia ahli dalam hal ini, terutama saat memenuhi makan daging.

Dari depan matanya, Sunaf yang terlentang seperti bangkai pohon dibelakangi Adam yang sedang memetik buah-buahan. Tentu, bukan apel terlarang itu. Kadang sempat jengkel untuk mengingatkan berkali-kali kepada Hawa untuk tidak menyentuhnya. Ular yang kerap mengajak pasangannya bercengkrama membuatnya cemburu. Tapi Adam yang seorang pemalu, hanya bisa mengusir ular, tak berani membunuh. Siapa yang berani dengan iblis? Mungkin, takut racun bisa-nya.

"Ah, pas sekali. Mungkin Hawa butuh seorang yang baru. Lagipula, mereka tidak banyak bicara. Ah, mungkin aku bisa membahagiakannnya. Mereka datar sekali hidupnya. Semua serba ada. Sesekali perlulah ada air mata."

"Jreb.." Darah mengucur dari punggung adam. Belum cukup, sunaf menarik sebelum melepas batu tajam itu hingga mengoyak tulang. "Krak..."

Adam gontai, sampai jatuh tak sadarkan diri. Sekali dayung, dua pulau terlampaui. "Ah, aku makan saja daripada mubazir. Sepertinya dagingnya enak. Lumayan untuk buruan hari ini. Makan malam besar."

Bulan benderang, burung kian memeluk sarang sambil melindungi anak-anaknya yang baru saja menetas. Sementara auman raja hutan meninggalkan kekuasaannya sampai pagi menjelang, mendekap goa singgasananya yang tak ada yang berani memasuki. Sunaf sekalipun, putera hutan yang seorang diri.

Hanya hawa yang masih gelisah, malamnya tak disambut mimpi, lantaran sibuk mencari Adam yang hilang sejak siang tadi. Sejak saat itu, awan punya teman. Air mata Hawa menetes ke tanah, berbaur dengan ranjang jerami di kediamannya yang tak lagi hangat. Dingin, sendiri.

(Bersambung)



1 komentar: