Senin, 03 Januari 2011

Demi Nyai

Penulis itu sudah berhari-hari resah. Mondar-mandir, menenggak alkohol dan kopi, tetap tak mengasilkan ide. Ia ingin membuat karya  yang terbaik sejak 20 tahun menekuni dunia sastra. Buku yang telah dia hasilkan fiksi tentang cinta dan cinta. Demi pasar, katanya.

Ia ingin sesuatu yang berbeda untuk buku berikutnya. Ia ingin mengalami sendiri, karena sebelumnya mengadaptasi dari cerita orang lain atau kisah teman. Memang, beberapa waktu lalu dia baru saja patah hati ditinggal kekasih. Hanya masalah sepele, dia menolak permintaan pacarnya untuk dibelikan hp blackberry.

Pisau dapur itu telah digenggam. Sementara tangan kanannya bersiap untuk mengetik. Ia torehkan pisau berkarat itu di kakinya. Sedikit demi sedikit darahnya mengucur, sementara itu ia tuliskan rasa sakitnya. Paragraf berikutnya selesai. Lantas ia potong kedua kaki. Saat darahnya muncrat tak terkendali, ia terus mengetik.

Mengerang kesakitan seraya menyayat tangan kanan dan menghunuskan ke ulu hati. Sebelum kehabisan darah, ia harus memutuskan kata terakhir. Sayang, ia tergeletak tak sadarkan diri dengan mata terbelalak. Puisi yang terakhir kali itu tak terselesaikan, yang berjudul "Demi Nyai, ku Rela Mati".

Garna Raditja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar